Kitab Tentang Qodlho (Peradilan) dan Syahadaat (Persaksian) 2/2

August 17, 2009

Bagaimana kabarmu ?, semoga Alloh senantiasa memberkahi aku dan anda beserta  keluarga, berikut bagian kedua and terakhir dari terjemahan qodlho dan syahadaat; nukilan dari kitab al Fiqhu al Muyassar.

Bab Kedua : Tentang Saksi, Ia memiliki beberapa permasalahan :

Masalah Pertama : Pengertian, Hukum dan Dalilnya.

1. Pengertiannya : Syahadah secara etimologi adalah kabar yang menentukan, mustaq dari musyahadah; Karena seorang saksi mengkabarkan suatu peristiwa yang dilihat dan disaksikannya. Adapun yang dimaksudkan di sini adalah menurut para ahli fiqih : Memberitakan kebenaran suatu peristiwa untuk kepentingan orang lain atas yang lainnya, disampaikan di majlis persidangan. Atau : Memberitakan suatu peristiwa yang di lihat oleh saksi dengan lafadz yang khusus, yakni : Aku melihat atau aku menyaksikan, atau kata-kata yang semakna dengannya.

2. Hukumnya : Menyempaikan persaksian pada selain hak Alloh Ta’ala – yakni pada hak bani adam – fardu kifayah, jika telah didapatkan yang melaksanakannya maka mencukupi bagi yang lain, karena telah dicapainya tujuan. Jika tidak didapatkan kecuali orang itu saja, maka menjadi fardu ‘ain atasnya. Berdasarkan firman Alloh Ta’ala :

(وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا) [البقرة: 282]

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” (QS. Al Baqoroh : 282).

Adapun menunaikan dan menetapkannya di hadapan hakim fardu ‘ain bagi orang yang mengembannya, kapan pun di panggil maka harus menyampaikannya, berdasarkan firmanNya Ta’ala :

(وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ) [البقرة: 283]

dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya”; (QS. Al Baqoroh : 283).  Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras  bagi orang-orang yang menyembunyikan persaksian. Maka ia menunjukan pada wajibnya menyampaikan bagi orang-orang yang mengembannya. Kapan pun dia dibutuhkan untuk itu.

Syarat wajibnya menunaikan persaksian adalah : Tidak ada bahaya bagi saksi, jika persaksiannya akan menimbulkan bahaya bagi kehormatan, harta, jiwa atau keluarganya maka tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Sholallohu ‘alaihi wa sallam :

(لا ضرر ولا ضرار)

“Tidak boleh memadlhorotkan diri sendiri dan orang lain”. (HR. Hakim [2/57-58] dan mensahihkannya, adz Dzahabi menyepakatinya. Al Baihaqi [6/69-70] dan dinyatakan sahih oleh al Albani dalam as Sahihah [250]).

3. Dalil disyari’atkannya : Tentang disyari’atkannya syahadah ditunjukan oleh al Kitab, as Sunnah dan Ijma. Adapun al Kitab berdasarkan firmanNya Ta’ala : Read the rest of this entry »


KITAB QODLHO (PERADILAN) DAN SYAHADAH (SAKSI) bagian 1/2

August 7, 2009

Bismillah …

Ia merupakan terjemahan dari kitab al Fiqhu al Muyassar.

Penulis hafidzohulloh berkata :

كتاب القضاء والشهادات

Kitab Qodo (Peradilan) dan Syahadah (Saksi)

Ia mencakup dua bab :

Bab Pertama : Tentang Peradilan; ia memiliki beberapa permasalahan :

Masalah pertama : Pengertian Peradilan, Hukumnya dan Dalil-dalil Disyari’atkannya :

  1. Pengertiannya : Al Qodlho secara etimologi adalah (الفصل) ‘ketetapan’ dan (الحكم) ‘keputusan’. Sempurnanya sesuatu dan selesai darinya. Dikatakan (قَضَى يقضِي قضاءً) jika telah ada ketetapan dan keputusan. Adapun secara istilah/terminology adalah menjelaskan hukum syari’at dan memutuskan dengannya, serta menyelsaikan sengketa dan memutuskan perselisihan. Al-qodlho dinamakan hukum karena mencegah kedzoliman, diambil dari kata ‘hikmah’ yang memberikan konsekwensi meletakan sesuatu pada kemestiannya.
  2. Hukum dan Hikmahnya : Al Qodlho fardu kifayah, jika telah ada yang memangku jabatan serta mencukupi maka dosa terlepas dari yang lainnya. Jika setiap orang shalih tidak ada yang mau mengembannya maka mereka semuanya berdosa; Karena dengan ketiadannya urusan manusia tidak akan terealisasi [dengan kemestiannya]. Ia merupakan salah satu ibadah yang agung. Di dalamnya ada pertolongan bagi yang terdzolimi, menegakan hukum, memberikan setiap hak kepada pemiliknya, mendamaikan manusia, memutuskan sengketa  dan perselisihan; untuk tercapainya keamanan dan meminimalkan kerusakan. Oleh karena itu wajib bagi Imam/pemimpin untuk mengangkat qodhi/hakim sesuai kebutuhan dan maslahat. Supaya tidak tercampakannya hak dan menyebarnya kedzoliman. Bagi yang memangku jabatan ini ada keutamaan dan balasan yang besar; jika menunaikan haknya, dan ia merupakan ahlinya. Di dalamnya pula ada dosa yang sangat besar, bagi orang-orang yang menjabatnya; jika tidak menuanaikan haknya dan bukan ahlinya.
  3. Dalil Disyariatkannya : Landasanya al Kitab, as Sunnah dan Ijma’. Dalil dari al Kitab tentang disyari’atkannya adalah firman Alloh Ta’ala :

(يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ) [ص: 26]

“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)  di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil…” (QS. Shaad : 26).

Dalil dari sunnah adalah sabda sholallohu ‘alaihi wa sallam : “

(إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم واجتهد ثم أخطأ فله أجر)

“Jika seorang hakim memutuskan perkara, maka bersunguh-sungguh/ijtihad, kemudian, jika benar mak baginya dua pahala. Dan jika seorang hakim menghukumi dan bersungguh-sungguh, kemudian salah, maka baginya satu pahala”. (Mutafaq ‘Alaih : HR. Bukhori [7352], Muslim [1716]).

Nabi r telah menegakan qodlho dan mengangkat qodlhi, demikian pula perbuatan sahabatnya setelah beliau, serta salafus shalih.

Adapun ijma : Kaum Muslimin telah sepakat tentang disyari’atkannya mengangkat qodlhi dan pemutus antar manusia.

Masalah Kedua : Syarat-syarat Hakim/Qodlhi :

Bagi yang memangku jabatan hakim disyaratkan hal-hal berikut :

  1. Muslim; Karena ke Islaman merupakan syarat keadilan. Sedangkan orang kafir bukanlah orang yang adil. Selain itu, jiaka orang kafir menjadi hakim maka telah memuliakannya, sedangkan yang di tuntut menghinakanya.
  2. Mukalaf, yakni balig lagi berakal; Karena anak-anak dan orang gila bukanlah mukalaf dan di bawah pengampuan orang lain.
  3. Merdeka; Karena seorang hamba sahaya akan sibuk dengan hak-hak tuannya, dia tidak memiliki kekuasaan dan keleluasaan. Hamba sahaya tidak memiliki hak memangku jatan hakim, seperti perempuan.
  4. Laki-laki; Perempuan tidak boleh memangku jabatan hakim, karena dia bukan pemangku kekuasaan. Nabi r bersabda :

(لن يفلح قوم ولَّوْا أمرهم امرأة)

“Suatu kaum tidak akan beruntung jika urusan mereka dikendalikan oleh seorang perempuan”. (HR. Bukhori [4425]).

5. Adil; tidak di jabat orang fasiq. Berdasarkan firmanNya :

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا) [الحجرات: 6]

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti …“. (QS. Al Hujurot : 6). Jika tidak diterima pemberitaannya maka untuk tidak diterima hukumnya lebih utama.

6. Selamat dari cacat permanen primer; spserti tuli, buta dan bisu. Karena dengan cacat tersebut tidak mungkin bisa untuk memutuskan perkara di antara yang bersengketa, tentang persyaratan melihat perlu penelitian kembali.

7. Mengetahui hukum syar’i yang akan menjadi bekal dalam memutuskan perkara, walaupun hanya mengetahui madhabnya, dia mengikuti Imam diantara para Imam.

Masalah Ketiga : Adab dan Akhlaq Qodlhi/Hakim, Serta Sesuatu Yang Harus Dimiliki dan Sesuatu Yang Harus Tidak  Ada :

  1. Hakim harus kuat dan memiliki wibawa; tapi tidak sombong dan keras, lembut tapi tidak lemah.  Agar orang dzolim tidak tamak dalam kebatilannya dan orang lemah tidak putus asa dari keadilannya.
  2. Hendaklah seorang Qadhi itu seorang yang memiliki sifat lemah lembut; Sehingga dia tidak marah dari pembicaraan orang yang menentangnya, sehingga menghalanginya dari memutuskan hukum [dengan adil].
  3. Memiliki ketelitian dan cermat, sehingga tidak lalai dan tertipu.
  4. Hendaknya seorang hakim itu seorang yang senantiasa menjaga kehormatan, waro’ dan bersih/suci dari sesuatu yang diharamkan Alloh.
  5. Pandai bertanya, kuat memegang prinsip kebenaran, memiliki pandangan cemerlang dan terkenal. Ali rodiyallohu ‘anhu  berkata : “Seseorang qodlhi tidak layak dikatakan qodlhi sampai memiliki lima kriteria : Menjaga kehormatan, cermat tidak tergesa-gesa, mengetahui latar belakang kasus, memiliki peikiran yang cemerlang dan tidak gentar dengan celaan yang mencela tatkala menegakan kebenaran”.  (Lihat al Mughni Ibnu Qudamah [14/17], al Albani berkata : Aku tidak berpanadangan dari Ali. Al Baihaqi mengeluarkan yang semisalnya [10/110).
  6. Seorang qodlhi haram mempermudah salah seorang yang bersengketa, atau condong kepada salah satunya, atau mengajarkan cara beralasan atau cara membuat dakwaan.
  7. Seorang qodlhi diharamkan memutuskan perkara tatkala sedang murka/marah besar, berdasarkan sabda Sholallohu ‘alaihi wa sallam : “Seorang hakim/qodlhi tatkala marah tidak boleh memutuskan perkara dua orang yang bersengketa” (HR. Bukhori [7158] dan Muslim [1717]). Di analogikan pada marah setiap yang menggangu pikiran, dari kesulitan, kekalutan, rasa lapar, haus, lelah, sakit dan yang lainnya.
  8. Seorang hakim diharamkan menerima suap, berdasarkan hadits Abu Hurairoh rodiyallohu ‘anhu :  Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :  “Alloh melaknat penyuap dan yang di suap dalam hukum”. (HR. Tirmidzi [1336], dia berkata : Hasan Sahih. Ibnu Majah [2313]. Al Albani Mansahihkannya dalam Sahih Sunan Tirmidz [1073]). Suap menghalangi hukum dengan kebenaran bagi pemiliknya, atau mencegah untuk menghukumi dengan  kebatilan bagi yang berbuat bathil, kedua-duanya merupakan kejelekan yang sangat besar.
  9. Seorang hakim diharamkan menerima hadiah dari yang bersengketa atau dari salah satunya. Barangsiapa yang sudah menjadi kebiasaanya menerima hadiah dari orang tersebut semenjak sebelum menjadi qodlhi maka tidak lah mengapa, dengan syarat pemberi hadiah itu tidak memiliki lawan sengketa yang hakim tersebut harus memutuskannya. Andaikan bersikap waro’ dari hal seperti di atas maka lebih baik.  Seorang qodlhi harus membersihkan dirinya dari seluruh perkara yang bisa mempengarui keputusan dan pendengarannya, sehingga dalam jual beli pun tidak selayaknya melekukannya sendiri, dari orang-orang yang mengenalnya; dikhawatirkan adanya kelebihan atau diskon, karena dilebihkan dalam jual beli seperti hadiah. Semestinya dia mewakilkan pelaksanaan  jual beli dengan wakil yang tidak diketahui bahwa ia bekerja untuk nya.
  10. Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara untuk dirinya sendiri, kerabatnya dan untuk orang-orang yang tidak diterima persakasiannya untuk dirinya. Tidak boleh pula memutuskan perkara bagi musuhnya, karena keadaan yang seperti ini bisa melahirkan tuduhan.
  11. Tidak menghukumi dengan ilmunya; karena bisa melahirkan tuduhan pada dirinya.
  12. Seorang qodlhi dianjurkan untuk memiliki sekertaris untuk menuliskan kejadian-kejadian dan yang lain-lainnya, dari orang-orang yang bisa membantunya. Seperti pelayan, penerjemah dan yang lain-lainnya. Karena kesibukannya mengurusi perkara manusia, maka dia membutuhkan orang-orang yang bisa membantunya.
  13. Seorang hakim harus menghukumi segala perkara dengan kitabulloh dan sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, jika tidak mendapatkannya maka dengan ijma, jika tidak mendapatkanya pula dan dia merupakan ahli ijthad mak berijtihad, jika bukan ahli ijtihad maka wajib meminta fatwa/ketetapan hukum dan menghukumi dengan fatwanya mufti.
  14. Seorang qodlhi wajib berlaku adil dengan dua pihak yang bersengketa dalam segala sesuatu. Umar rodiyallohu ‘anhu menulis surat kepada Abu Musa rodiyallohu ‘anhu : “Samakanlah kedudukan manusia dihadapanmu, di majlis mu dan dalam keadilanm; sehingga yang lemah tidak berputus-asa dari keadilanmu, dan yang mulia tidak tamak dengan kecondonganmu”. (Riwayat Daruquthni [512], dan ia sahih, lihat Irwaul Gholil [8/241]).

Masalah Keempat : Cara Menetapkan Hukum Dan Sifatnya :

Seorang hakim akan sampai pada keputusan hukum suatu perkara dengan mengikuti langkah-langkah berikut :

  • Jika dihadapanya hadir dua pihak yang bersengketa maka dudukanlah keduanya dihadapanmu, tanyalah keduanya : Siapa penggugatnya ? atau diam hingga penggugat sendiri yang berkata, maka dia mendengarkan gugatannya.
  • Jika gugatan tersebut telah dianggap sah, maka hakim bertanya kepada tergugat tentang sikapnya, jika tergugat mengakui kebenaran gugatan tersebut maka hakim meutuskan hukum dengan pengakuan tersebut, jika tergugat mengingkari maka hakim meminta penggugat untuk mendatangkan bukti.
  • Jika penggugat memiliki bukti maka diminta untuk menghadirkannya, dan disimak persaksiannya, kemudian memutuskan hukum dengan persaksian tersebut; dengan syarat-syaratnya, dan tidak menetapkan hukum dengan ilmunya.
  • Jika penggugat tidak memiliki bukti, maka hakim memberitahukan kepadanya bahwa tergugat memiliki hak untuk bersumpah; berdasarkan sabda Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa salllam kepada dua orang yang bersengketa tanah dengan dakwaan telah dirampas : ‘Apakah kamu memiliki bukti ?, dia berkata : Tidak, maka Rosululloh sholallohu ‘allaihi wa sallam bersabda [kepada tergugat –pen]: “Maka kamu harus bersumpah”. (HR. Muslim : [223]). Dan pula berdasarkan sabda beliau sholallohu ‘alaihi wa sallam : “Penggugat harus mendatangkan bukti, sedangkan sumpah bagi tergugat”. (Akan datang takhrijnya pada bab berikutnya, lihat h. 423 [kitab aslinya –pen]).
  • Jika penggugat menerima sumpah tergugat, maka hakim meminta bersumpah pada tergugat dan membebaskan jalannya; karena asalnya adalah bebas dari gugatan.
  • Jika tergugat tidak mau dan enggan untuk bersumpah, maka hakim menetapkan hukum bagi kebenaran penggugat, karena keengganan tergugat merupakan petunjuk tentang kebenaran penggugat. Diantara yang telah menerapkan metode ini Utsman rodiyallohu ‘anhu dan jama’ah dari kalangan ahli ilmu. Adapun sebagian jama’ah yang lainnya, dari kalangan ahli ilmu berpendapat : Jika tergugat enggan bersumpah maka kewajiban bersumpah  berpindah pada penggugat, maka dia bersumpah kemudian berhak dengan gugatannya.
  • Jika tergugat bersumpah dan hakim membebaskan jalanya, kemudian setelah itu pengugat mendatangkan bukti, maka hakim harus memenangkan gugatan pengugat; karena sumpah mengingkari tidak menetapkan hak, ia hanya menghilangkan gugatan penggugat/persengketaan.

bersambung …